BEBAN PSIKOLOGIS ANAK MONDOK USIA DINI
source satujam.com |
Dia berdiam seorang diri menatap hamparan sawah sambil termenung. Sementara teman-teman lainnya asik bercengkrama di kamar asrama.
Aku lihat dia melihat ku duduk di atas tikar yang kami gelar karena kebetulan tidak kebagian saung dan dia berjalan menghampiri.
Ibu altaf, mamaku belum kesini. Padahal janjinya hari ini ke sini katanya dengan wajah murung.
Oh... mau telepon mama nanya jam berapa berangkat ke sini shalih? Tanyaku
Ia mengangguk dan wajahnya jadi sumringah.
Kupinjamkan HP, dan dia bercakap di depanku...
Mama jadi kesini jam berapa? Tanyanya....
Wajahnya tiba-tiba berubah, matanya berkaca-kaca.
Oh .... iya.... iya udah gak apa-apa... tapi nanti mama jenguk aku yaa?? Kapan ma??
Wajahnya terlihat semakin kecewa dan air matanya mulai jatuh, di serahkan hp yang masih tersambung.
Halo.. assalamualaikum... mama... gimana? Tanyaku...
Iya bu... tolong kasih pengertian anak saya yaa... saya gak bisa jenguk. Sebenernya sih kita emang gak mau sering jenguk, karena kita gak mau dia terlalu manja. Dia bulak-balik minta ijin pulang, cuma takutnya kalau dibawa pulang dia gak mau balik lagi ke pondok. Biarin aja lah nangis nangis dia sekarang, kasih kepercayaan aja sama pondok, nanti juga lama-lama biasa, kata sang bunda di ujung telepon sana.
Keningku mengernyit mendengar ucapan sang bunda, gak dijengukin aja bu, kasih pengertian anaknya? Kasihan bu anaknya sedih. Ku coba melobby hatinya
Enggak lah bu, biarin aja. Nanti juga lama-lama biasa, suaranya terdengar yakin diujung telepon.
Baiklah... bukankah setiap orang tua memiliki hak memilih cara mendidik anak-anaknya.
Ku tutup telepon, ku tarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Kutatap mata berurai air mata tanpa isak, hanya ditemani tatapan kosong entah memandang apa.
Mama belum bisa kesini nak... nanti kalau mama gak repot mama mu nanti ke sini. Sementara ini biarkan ibu altaf jadi mamamu buat mu yaa... boleh? Tanyaku...
Dia mengangguk lemah, air matanya semakin banjir, kali ini pundaknya hingga terguncang-guncang menahan isak. Sesak rasanya dada ini melihatnya, tapi kutahan dan tak ku ijinkan air mata ini jatuh.
Yaa sudah... keluarin aja sedihnya sampai puas.. boleh kok nangis..boleh kataku...kubiarkan dia menangis.
Aku kayak dibuang ibu altaf, orang lain di telepon, ditengok, diajak pulang, aku enggak. Aku sedih, gak ada tempat ngadu, gak ada tempat cerita, aku sendirian ucapnya ditengah isak.
Iyaa... sekarang yang nengok ibu altaf, nanti jadwal telepon yang nelepon ibu altaf ya nak.. kamu boleh cerita, boleh ngadu, sama ibu altaf, kataku menenangkan.
Dia menangguk.. perlahan tangis dan isaknya mereda.
Dia bercerita bagaimana dia merasa tertekan atas sikap teman-teman sekelasnya, merasa terintimidasi dengan sikap teman sekamarnya. Ia sedang merasa sedih karena merasa diperlakukan tidak adil. Aku hanya mendengarkan hingga ia selesai bercerita lalu memberi sedikit nasehat. Ia semakin terlihat tenang.
Makanan kesenanganmu apa? Tanyaku
Sop Iga.. jawabnya..
Ya udah nanti minggu depan In sya Allah ibu masakin yaa....
Ibu altaf bisa masak sop iga? Tanyanya...
Insya allah bisa... ibu altaf bisa masak apa aja, cuma enak apa enggaknya enggak tau, yang penting mateng dan gak beracun....kataku
Dia tersenyum....
Ibu altaf.... ibu pulang jam berapa?
Ibu belum tahu, kenapa?
Aku pingin ditungguin sampai pulang pramuka....
Oh gitu........ In sya Allah... kalau pulang pramukanya gak kesorean masih ketemu ibu, tapi kalau kesorean ibu nanti kemalaman sampai rumah yaa... tapi in sya Allah ibu nanti minggu depan datang lagi tengokin kamu.
Wajahnya jadi sumringah....
Udah sana berangkat udah bel.... semangat yaa nak...
Dia tersenyum dan kembali bersemangat.
Melihatnya berlari-lari kecil membuatku terharu...sesederhana itu saja sebenarnya menyenangkan hatimu...
Bagiku intensitas kita berlomunikasi dan menjenguk anak-anak bukan soal percaya tidak percaya pada pihak pondok. Tapi soal kewajiban orang tua memenuhi hak psikologis anak yang masih jadi kewajiban orang tua.
Anak laki-laki usia 12-13 tahun belum usia baligh dimana dalam islam dianjurkan untuk dekat dengan orang tuanya.
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?” “Sampai mencapai baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan,” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya. Al Hakim berkata bahwa hadits tersebut sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim).
Hadits tersebut sebenarnya membicarakan tentang pengasuhan anak ketika terjadi suami-istri bercerai, siapakah yang berhak mengasuh anak tersebut.
Namun hadits itu juga mengandung faedah lainnya. Hadits tersebut berisi penjelasan bahwa sebaiknya anak tidak jauh dari ibu atau orang tuanya ketika usia dini. Karena usia tersebut, anak masih butuh kasih sayang orang tua, terutama ibunya.
Namun dikarenakan kondisi lingkungan dan berbagai media yang mengancam aqidah, itu sebabnya untuk mengurangi mudharat para orang tua banyak memilih memasukkan anaknya kedalam pesantren agar tertanam erat aqidahnya, tapi bukan berarti boleh melepaskan begitu saja hak anaknya untuk dekat dengan orang tua.
Dari Abu ‘Abdirrahman Al Hubuliy, dari Abu Ayyub, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi no. 1283. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
Maka untuk mengakomodir kewajiban orang tua menanamkan aqidah anak dan melindungi dari lingkungan yang berpotensi merusak ahlak, sebelum usianya baligh beberapa orang tua yang memiliki dasar pemahaman sesuai hadits ini akan menjaga kualitas komunikasi dan kedekatan dengan anak.
Banyak orang tua berpikir..aah lama-lama juga kebiasa...lama-lama juga betah tanpa mempertimbangkan hak psikologis dan batin anak. Menjadi betah di pondok karena sekedar terbiasa akan berbeda hasilnya dengan menjadi betah karena merasa pondok tak ubahnya rumah yang tetap terisi aroma kasih sayang orang tua karena proses adaptasi bertahap dengan pendampingan orang tua.
Pondok yang paling cocok dengan anak-anak diusia dini bukanlah pondok yang walaupun jauh dengan memiliki guru yang hebat dan fasilitas yang mantap, tapi pondok yang dekat dan tidak menjauhkan anak anak baik dari segi jarak maupun mental, agar chemistry kedekatan anak dan orang tua tetap terjaga.
Berapa banyak anak yang lulus pondok kualitas akhlak dan aqidahnya lebih buruk daripada yang tidak mondok?
Berapa banyak orang yang tahfidz Alquran namun gagal mengimplementasikan makna alquran sesungguhnya.
Berapa banyak anak yang lulus dari pondok kehilangan kelembutan cinta karena merasa kurang dicintai.
Berapa banyak anak yang justru hambar hubungannya dengan orang tua dan menjalankan kewajibannya pada orang tua hanya sekedar kewajiban tanpa cinta.
Walau bagaimanapun semua tergantung anaknya dan orang tuanya. Karena ustadz / ustadzah hanyalah fasilitator dan fasilitas hanyalah pendukung. Sedang dasar akhlak dan aqidah anak anak tetaplah kewajiban kita sebagai orang tua karena kita yang akan dihisab soal itu, bukan ustad/ustadzahnya.
Banyak orang tua mampu menjadikan anak-anak yang shalih, tapi tidak semua anak shalih ingat untuk selalu ingat mendoakan orang tuanya saat ada, apalagi setelah tiada. Karena antara ada dan tiada orang tua, mereka biasa merasa orang tuanya tidak ada di masa-masa ia membutuhkannya.
Semoga kita bisa jadi orang tua yang dirindukan surga karena doa anak-anak shalih kita. In syaa Allah..
Original : Ernydar Irfan
via status fb Ike Arie
Post a Comment